TEORI PEMA’AFAN DALAM PIDANA ISLAM
(ANTI SADISME PIDANA ISLAM)
Makalah
Disampikan dalam diskusi Dosen
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Bulan Juni 2010
Oleh
Syahrul Anwar
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SGD BANDUNG
2010 M / 1431 H
TEORI PEMA’AFAN DALAM PIDANA ISLAM
(ANTI SADISME PIDANA ISLAM)
0leh
Syahrul Anwar
A. Pengertian Teori
Secara umum ada tiga tipe teori[1] yaitu teori formal, teori substantive dan teori positif. Teori formal menghasilkan suatu skema konsep dan pernyataan dalam masyarakat atau interaksi keseluruhan manusia yang dapat dijelaskan. teori tertentu mempunyai karakter yang paradigmatic yaitu untuk menciptakan agenda keseluruhan untuk praktek teoretis masa depan terhadap klaim paradigma yang berlawanan. Teori tertentu juga sering kali mempunyai karakter yang fondasional yaitu mencoba untuk mengidentifikasikan seperangkat perinsif tunggal yang merupakan landasan puncak untuk kehidupan. yang kemudian disebut grand teori.
Teori Substantive adalah teori yang kurang inklusif teori ini menjelaskan secara keseluruhan dalam bidang yang khusus misalnya tentang hak pekerjaan, dominasi politik tentang kelas komitmen agama atau prilaku yang menyimpang. Knstruk teori ini disebut MiddleTeori.
Teori positivistik, teori ini menjelaskan hubungan empiris antara variable dengan menunjukan variable-variable itu dapat disimpulkan dari pernyataan teoritis yang lebih abstrak. teori ini menjelaskan tentang pernyatan-pernyataan yang spesipik, karena teori ini sangat memfokuskan pada hubungan-hubungan empiris tertentu, temuam-temuan yang belum terbukti mempunyai pengaruh, teori ini disebut dengan Oprasional Teori.
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan fitrah yang mengandung potensi untuk menciptakan kedamaian sesama makhluk lainnya dan kemungkinan pula terjadi kejahatan. Demi keharmonisan dan keadilan yang beradab, maka hukum Pidana Islam mengenal hukuman qisash dan hudud. Akan tetapi, sebagaian orang menganggapnya sebagai hukuman yang sadis dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal (rahmatan lil alamin).
B. Teori Pema’afan
Meminta maaf adalah satu hal positif yang semestinya dilakukan seseorang yang melakukan kesalahan, hal ini bertujuan untuk menghapus perbuatan salah atau memalukan, kalau perbuatan salah itu terarah kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban, bila kesalahan itu tertuju kepada banyak orang, maka permintaan maaf semestinya dilakukan secara terbuka, budaya meminta maaf ini kurang berkembang di Indonesia, terutama permintaan maaf secara terbuka, adanya hari raya idul fitri untuk meminta maaf adalah sika positif, semestinya berkembang diluar hari raya, dan dilakukan secara terbuka.
Kebiasaan orang Jepang ketika seseorang telahan melakukan kesalahan atau dosa maka ia melakukan perbuatan harakiri[2] dalam hukum islam tidak mengeal adanya konsep itu, tetapi dilakukan pemaafan, karena pemaafan itu merupakan perbuatan sunat sebagai mana firman allah dalam surat al-maidah ayat 45,[3] pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati, Allah Swt, memerintahkan manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain, memaafkan dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang [4]
Nabi Muhammad Saw adalah pribadi yang mudah memberi maaf dalam sejarah kemanusiaan. Nabi Muhammad Saw dikenal mudah memaafkan seseorang yang menyakitinya, ketika beliau menyampaikan dakwah kepada orang-orang daerah Thaifz, ternyata mereka bereaksi negatif yaitu menolak bahkan menyakiti fisik Rasulullah Saw, atas sikap kasar ini, Nabi Muhammad menunjukkan pemberian maafnya, bahkan Nabi optimis bahwa anak cucu orang-orang Thaif kelak akan menjadi orang-orang yang beriman,[5] Memaafkan pelaku tindak pidan adalah sunat karena berdasarkan firman Allah yang menyatakan bahwa setiap luka harus dilakukan qishash dan barang siapa bershadaqah (memaafkan) maka harus diganti dengan kifarat.[6] Barag siapa yang mewajibkan qishash maka harus memaafkan mutlaq dengan tanpa pengganti dan diharuskan membalas sikap pemaafan itu dengan kifarat.
Sikap keluarga terbunuh berada dalam dua posisi kebaikan, yaitu seandainya ingin membunuhnya (qishash) dan seandainya ingin mengambil diyat dari pihak pembunuh, maka dua sikap ini merupakan sikap yang baik, dan seandainya keluarganya besar hati memaafkanya, maka gugurlah segala hak yang bekaitan dengannya, akan tetapi karena pembunuhan itu sebaginnya merupakan hak Allah, maka diyat harus dilaksanakan sebagai penghapusan atas hak Allah.[7] maka seandainya kita melakukan pemaafatn terhadap qishash, maka keluarga pelaku kejahatan harus membayar diyat setelah ditentukan diyat maka gugurlah qishash baginya.
Lafadz yang digunakan dalam pemaafan adalah: 1).”Lafadz al-afwa” berdasarkan surat al- baqarah ayat 178, 2) “Lafadz Shadaq” Surat al-maidah ayat 45, 3). “Lafadz al-asqât” ketiga lafadz tersebut menunjukan makna yang sama seperti lafdz yang dipergunakan dalam jal beli dan akhirnya penggunan lafadz tersebut lebih mengarah kepada maksud dari lafadz yang diucapkan untuk memaafkan.[8] Pemaafan menurut Imam al-Syfi’i dan Imam Ahmad adalah memaafkan qishash dan diyat tanpa imbalan apa-apa, sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pemaafan terhadap diyat bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku terhukum, memaafkan diyat bukan pemaafan tetapi perdamaian yang berhaq memaafkan qishash adalah yang berhak menuntutnya.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kebolehan perdamaian dan hapusnya hukuman qishash, melalui perdamaian pihak pembunuh bisa membayar tanggungan yang lebih kecil sama atau lebih besar dari pada diyat. Nabi bersabda “barang siapa membunuh dengan sengaja maka ia diserahkan kepada keluarga terbunuh, bila mereka menghendaki maka boleh membunuhnya dan bila mereka menghendaki mereka boleh mengambil diyat 30 ekor hiqah, 30 jadzah dan 40 ekor unta hilfah dan diyat ditentukan berdasarkan perdamaian itulah hak mereka”[9]
Orang yang berhak mengadakan perdamian adalah orang yang berhaq atas qishash dan pemaafan, qishash dapat hapus karena diwaritskan kepada keluarga korban, bila ahli waritsnya anak pembunuh yakni penuntut dan penanggung jawab qishash itu orangnya, misal A membunuh saudara sendiri yang tidak mumpunyai ahli warits kecuali dirinya sendiri. Memaafkan orang yang melakukan pembunuhan atau pelukaan dari korban (keluarga) sangat didorong dan terpuji, tetapi tidak berarti pembunuh tidak kena hukuman, sanksinya diserahkan kepada ulil amri, karena pembunuh telah melanggar hak adami dan haq Allah.[10]
C. Hikmah Pidana Islam
Syari’at Islam diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan hidup manusia baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, nyawa seseorang adalah mahal karena itu harus dijaga dan dilindungi ketentuan hukum qishash memiliki relepansi kuat untuk melindungi manusia sehingga para pelaku Kriminal timbul kejeraan lantaran harus menanggung beban yang bakal menimpa dirinya jika ia melakukan perbuatan tersebut.[11]
Secara teoritis terdapat 5 (lima) keunggulan sistem hukum pidana Islam. Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana lain yang dibuat oleh manusia yang bersifat lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.[12] tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum Allah. hukum pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah, melahirkan implikasi pada penerapan sistem pidana Islam sebagai wujud ketaqwaan individu kepada Allah. sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah), sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah Swt yang merupakan ketakwaan.[13]
Kedua, sistem pidana Islam bersifat tegas dan konsisten,[14] pada sistem pidana hukum Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun [15] Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin, dalam sistem pidana Islam ada hukuman ta’zir yang memungkinkan adanya perbedaan sanksi hukuman yang, diserahkan kepada qadhi (hakim) ini merupakan celah dalam mengatasi permasalahan hukum yang baru supaya dapat ditolelir oleh hukum pidana Islam.
Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). sistem pidana Islam berdimensi dunia dan akhirat, sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia ditengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 179: “dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,” Sedangkan sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang diakhirat nanti, dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah Saw menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya[16]
Keempat, Sistem Hukum Pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. terutama karena, sistem pidana Islam bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah., hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad). Rasulullah Saw bersabda: “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur)[17]
Kelima, Sistem Hukum Pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syari’at. Kaidah fiqih menyebutkan,”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya.[18] artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.
Sanksi pembunuhan yang dikenakan kepada terpidana, memiliki hak otonom bagi keluarga korban untuk memilih hukuman yang bakal dikenakan terhadap pelakunya, hal ini memiliki relevansi kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga, betapa penderitaan pihak keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih karena dibunuh oleh seseorang, pihak keluarga korban sedikit banyak mengetahui kepribadian anggota keluarganya, apabila mereka mengetahui bahwa yang terbunuh adalah salah seorang anggota keluarga yang akhlaknya kurang baik dan tidak terpuji, maka mereka dapat memakluminya jika ia dibunuh oleh seseorang, oleh karena itu ia tidak akan dendam kepada pembunuhnya bahkan kemungkinan besar akan memaafkan pelaku dari pembunuhan tersebut.
Daftar Pustaka
A.Djazuli, ”Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam” Raja Grafindo Persada Jakarta 1997
Abd Qadir Audah "Tasyri al-Jina'I al-Islami" Bairut Muasyayah Ar-risalah 1992 h 609
Abdur Rahman Idoi, “Tindak Pidana dalam Syari’at Islam” Rineka Cipta 1992
Abu Zahrah “Al-syakhsiyah Dar fiqr Arabi Mesir 1957
Ahmad Ali, “Reformasi Komitmen dan Akal Sehat dalam
Ahmad Fathi Bahansi "Al-Uqûbat fi al-fiqhi Islami" maktabah daar al-urubah Kairo 1961
Ahmad Hanafi“Asas-Asas Hukum Pidana Islam “ Bulan Bintang
Ahmad Warso Munawir "Al-Munawir Kamus Arab Indonesia" Ponpes al-Munawir Krafyak Yogyakarta 1984
Al-Mawardi Al-Ahkam al-Sultaniat” Dar Babul Halabi 1973
Al-Munawir "Kamus Arab Indonesia" Pst al-Munawir Yogyakarta
As-Suyuthi, “Tafsir Al-Jalalain”,
Bemmlen, Van Mr Jm “Hukum Pidana I” Bandung Bina Cipta 1987
Budiono Kusumohamidjojo "Filsafat Hukum Problematika yang Adil" Pt Grasindo 2004
Dede Rosyada “Hukum Islam dan Pranata Sosial” Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan Jakarta 1992
Dwija Priatno, “Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia” Refika Aditama Bandung 2006 h. 5
Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/ h. 139
Haliman “Hukum Pidana Syari’at Islam menurut Ajaran Ahli Sunah” Bulan Bintang Jakarta 1971 h. 64
http:// ugm.ac.id/ seminar/reformasi/i-ahmad-ali.php),
Ibnu Abidin"Hasiyah Radd al-Muktar' maktabat al Imam tt juz XVIII
Ibnu Humam “Syarah Fathul Qadir
Ibnu Qudamah “Al-Kaafie fi fiqh Imam Ahmad Ibnu Hanbal” (tahqiq Jauhar Syawisy) Juz 4 Maktabah Islami h.50.
Ibnu Rusyd “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” Daaral-Fiqr Bairut tt juz II h.405.
Ibnu Rusyd “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” juz II maktabah urwah Semarang tt.
Ibrahim Hoesen “Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam Reinterpretasi terhadap Pelaksanaan Aturan” Dikutif dari "Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun KH Ali Yafie Editor Jamal D. Rahmat et al diterbitkan oleh Mizan dan Bank Mu'amalah Indonesia)
Juhaya S. Praja "Aliran-aliran Filsafat dan etika" Yayasan Piara Bandung 1997
Juhaya S. Praja "Filsafat Hukum Islam" LPPM UNISBA Bandung 1995
Lawrence M. Friedman, “The Legal System: A Social Science Perspective”, New York: Russell Sage Foundation, 1975
Leden Marpaung “Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana” Sinar Grafika 2006
Lili Rasjidi dan Wiyasa Putra “Hukum Sebagai Suatu Sistem” Rosdakarya Bandung 1993
M.Shiddiq al-Jawi “Keharusan Mengganti Total Sistem Hukum Sekarang Dengan Sistem Hukum Islam”
Mahsun Fuad "Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris" LKIS Yogyakarta 2005
Makrus Munajat “Dekonstruksi Hukum Pidana Islam” Logung Pustaka Yogyakarta 2004 h.1
Moeljatno“Asas-Asas Hukum Pidana”Rineka Cipta Jakarta 1993
Mohammad Taufiq. "Qur'an in Word Ver 1.2.0 Created By moh.taufiq@qmail.com taupQProduct ym id: mtaufiq.rm
Muhamad Husain al-Aqabi "Al-Majmu fi syarh al-Muhadzab" Maktabah al-imam juz XVIII
Muladi dan Barda Nawawi Arif “Teori-Teori Kebijakan Pidana” Bandung Alumni 1984
Nihayah Muhtaj juz VIII h
Oemar Senoadji "Peradilan Bebas Negara Hukum
Padmo Wahyono "Konsep Yuridis Negara hukum Indonesia"
R Supomo "Sistem Hukum di Indonesia Sebeum Perang Dunia II" Jakarta Pradnya Paramita 1982)
Soeroso, "Pengantar Ilmu Hukum" Sinar Grafika Jakarta 2004
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah "Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum" Pustaka Pelajar Yogyakarta 2007
Utrecht, E “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”,
Wasis SP "Pengantar Ilmu Hukum" (Malang:UMM Pres, 2002)
Wirjono Projodikoro, “Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia” PT Eresko Bandung 1989
Zaenuddin Ali “Hukum Pidana Islam” Sinar Grafika Jakarta 2007
[2] Harakiri, itulah yang dilakukan orang Jepang. Para kaum Samurai, orang-orang yang kastanya paling tinggi di Jepang, menyebutnya aktivitas ini dengan istilah seppuku. Harakiri atau seppuku adalah ritual melakukan bunuh diri akibat melakukan perbuatan rasa malunya tak dapat ditanggung. Ibaratnya, seseorang sudah tidak punya muka lagi. Harakiri dilakukan dengan membelah perut. Hal ini sesuai dengan istilah hara o kiri yang berarti membelah perut sendiri dengan pedang.
[3] Surat al-Ma’idah ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$#
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
[4] Surat At-Taghabun ayat 14
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä cÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur
“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu (kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
[5] Kisah yang lain ada seseorang yang setiap Nabi lewat selalu meludahinya. beliau bereaksi tenang dan tidak membalasnya. Nabi terheran-heran manakala lewat jalan tersebut si peludah tidak ada. Saat tahu bahwa si peludah sakit, Nabi bersilaturrahmi pada orang tersebut, sesuatu yang sangat menggetarkan hati si peludah dan akhirnya orang tersebut masuk agama Islam.
[7] Ibnu Qudamah “Al-Kaafie fi fiqh Imam Ahmad Ibnu Hanbal” (tahqiq Jauhar Syawisy) Juz 4 Maktabah Islami h.50.
zNõ3ßssùr& Ïp¨Î=Îg»yfø9$# tbqäóö7t 4 ô`tBur ß`|¡ômr& z`ÏB «!$# $VJõ3ãm 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏ%qã ÇÎÉÈ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
[13] As-Suyuthi, “Tafsir Al-Jalalain”, hal. 91. meski redaksinya berupa pertanyaan (“siapakah”), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/ h. 139
ôM£Js?ur àMyJÎ=x. y7În/u $]%ôϹ Zwôtãur 4 w tAÏdt6ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9 4 uqèdur ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇÊÊÎÈ
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui."
[16] HR. Bukhari, dari Ubadah lihat M. Husain Abdullah “Dirasat fi al-Fikr al-Islami, h. 64.
[17] HR. Ahmad Berdasar hadits, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah berkata,” Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika menerima suap ia telah sampai pada kekufuran.” (Al-Baghdadi, Hukum Islam, h.62)
[18] Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, h. 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar