Dr. Syahrul Anwar: Hukum Islam Lebih Manusiawi
BANDUNG, (PRLM).- Hukuman mati bagi koruptor harus menjadi hukuman tertinggi dalam penegakan hukum di Tanah Air. Hal tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk memberika efek jera bagi pelaku, melainkan upaya pencegahan bagi pihak-pihak yang akan melakukan tindakan serupa.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Dr. Syahrul Anwar, M.Ag, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saat ditemui di ruang kerjannya, Kamis, (9/2). Syahrul menilai hukum Islam merupakan produk hukum yang paling manusiawi.
Menurut Syahrul yang juga Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam (HPI), bentuk hukuman mati bukan harga mati. “Sangsi hukuman tersebut bisa diberikan tergantung dari seberapa besar dampaknya di masyarakat. Bila dampaknya kecil, pelaku korupsi dalam hukum pidana Islam bisa diampuni, dengan catatan yang bersangkutan harus bertaubat,” ujar Syahrul.
Adanya batasan seperti had ‘ala (batas tertinggi) dan had ‘Adna (batas terendah) dalam pemberian sangsi hukuman. Menunjukan bahwa hukum Islam bersifat proporsional. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati ini beralasan pemberian hukuman apapun terhadap pelaku, harus setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meski dalam kajian hukum Islam, pelaku korupsi bisa diampuni. Namun menurut dia pemahaman ajaran Islam tentang korupsi begitu tegas. Syahrul mencontohkan pada masa kepemimpinan Khalifah Abu bakar Assidiq, masyarakat yang mampu membayar pajak, namun mereka tidak menunaikan kewajibannya, bisa dinyatakan sebagai tindakan korupsi. “Apalagi mereka yang menyalahgunakan dana pajak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknnya, jelas sanksinya harus tegas,” paparnya.
Ia juga mengatakan saat ini telah banyak hukum Islam yang telah diadopsi dalam hukum nasional. “Kalau sudah masuk dalamnya, maka hukum Islam tersebut dikatakan sebagai hukum nasional, “ jelas Syarul. (CA-10/A-108)***
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Dr. Syahrul Anwar, M.Ag, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saat ditemui di ruang kerjannya, Kamis, (9/2). Syahrul menilai hukum Islam merupakan produk hukum yang paling manusiawi.
Menurut Syahrul yang juga Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam (HPI), bentuk hukuman mati bukan harga mati. “Sangsi hukuman tersebut bisa diberikan tergantung dari seberapa besar dampaknya di masyarakat. Bila dampaknya kecil, pelaku korupsi dalam hukum pidana Islam bisa diampuni, dengan catatan yang bersangkutan harus bertaubat,” ujar Syahrul.
Adanya batasan seperti had ‘ala (batas tertinggi) dan had ‘Adna (batas terendah) dalam pemberian sangsi hukuman. Menunjukan bahwa hukum Islam bersifat proporsional. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati ini beralasan pemberian hukuman apapun terhadap pelaku, harus setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meski dalam kajian hukum Islam, pelaku korupsi bisa diampuni. Namun menurut dia pemahaman ajaran Islam tentang korupsi begitu tegas. Syahrul mencontohkan pada masa kepemimpinan Khalifah Abu bakar Assidiq, masyarakat yang mampu membayar pajak, namun mereka tidak menunaikan kewajibannya, bisa dinyatakan sebagai tindakan korupsi. “Apalagi mereka yang menyalahgunakan dana pajak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknnya, jelas sanksinya harus tegas,” paparnya.
Ia juga mengatakan saat ini telah banyak hukum Islam yang telah diadopsi dalam hukum nasional. “Kalau sudah masuk dalamnya, maka hukum Islam tersebut dikatakan sebagai hukum nasional, “ jelas Syarul. (CA-10/A-108)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar