Rabu, 30 Mei 2012

HAKIKAT MANUSIA DAN EKSISTENSI HUKUM PIDANA ISLAM


HAKIKAT MANUSIA DAN EKSISTENSI  HUKUM PIDANA ISLAM
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Oleh:Syahrul Anwar
Abstraksi
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia guna menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana Islam adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana Islam dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karena menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis dan tidak manusiawi. Padahal semua umat Islam meyakini  bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal, rahmatan lil alamin.
Umat Islam terikat untuk patuh dan tunduk pada hukum agama, termasuk hukum pidana Islam. tetapi, kenyataanya hukum pidana nasional masih bernuansa hukum Kolonial, sehingga timbul pertanyaan Bagaimana hakikat manusia dalam hukum pidana dan hakikat hukum pidana Islam dalam filsafat hukum Pancasila?, epistemologi hukum pidana Islam?, prinsip hukum pidana Islam dan Pancasila?tranformasi materi hukum pidana Islam Kedalam KUHP nasional? Dan Reaktualisasi hukum pidana Islam dalam sistem huum pidana nasional.  
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah  metode kualitatif menghasilkan data deskriftif jenis analisis dokumen, dengan pendekatan multidisipliner  pada bidang Filosofis, Maqashid, dengan menggunakan teori hakikat kemudian menggunakan midel teori ijtihad, teori cybernetics, teori negara hukum dan Teori Tujuan  oprasional teori kriminologi, teori hukum pidana, teori penerapan hukum Islam Indonesia.
Hakikat manusia adalah manusia adalah kehendak Tuhan, manusia bertugas sebagai khalifah dan beribadah maka hakikat manusia adalah benda fisikal yang mengalami perubahan, manusia berinteraksi secara antropologis dan sosiologis sehingga menimbulkan hak dan kewajiban, Sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 Hukum Nasional terdiri dari sistim hukum, Kolonial, Adat dan Hukum Agama (Islam). meliputi Struktur, Substansi, dan Kultur, hukum harus berdasarkan pancasila dan ketuhanan, (tauhidullah)  Ilmu Hukum Pidana Islam bersumber dari wahyu yang mathlu (al-Qur’an) dan wahyu yang ghaer mathlu (al-Hadits), termasuk katagori ilmu Fiqih Mu’amalah, hukum Pidana Islam tidak akan tegak kecuali dengan terbentuknya “Negara” ilmu hukum pidana Islam erat kaitannya dengan ilmu politik dan Tata Negara sebagai ilmu penyelenggara institusi Negara. Ilmu Hukum Pidana Islam t bagian hukum Publik  yang penegakannya membutuhkan penguasa (ulil amri), Sejak 1977 telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun konsep (RUU KUHP) Nasional, pengembangan hukum menggunakan: 1.Pemahaman baru Kitabullah, 2.Pemahaman baru Sunah” 3)Pendekatan ta’aqquli (rasional) 5.Penekanan zawajir, 5. Ijmak 6.Masalik al-‘illat 7.Masalih mursalah 8.Sadd az-zari’ah 9.Irtijab akhalf ad-dararain 10.Keputusan waliyy al-amr” Qishash adalah al-musyawah wa ta’adul,

A.Pendahuluan
            Manusia adalah bagian dari kesatuan totalitas alam yang sinergis dengan proses peradaban, manusia mempunyai kedudukan yang unik karena mempunyai akal yang berfungsi melakukan interpretasi proses kehidupan, akal menjadikan manusia ekslusif dari makhluk lainnya, akal itu merdeka dan abadi dalam wataknya yang esensial, akal adalah kekuatan tertinggi dari jiwa insaniyah.[1]  Manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan benda-benda alam lainnya seperti gunung dan lautan dengan diberikan amanat untuk mengurus muka bumi (menjadi khalifah),[2] Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, kepemimpinan manusia meliputi jagat raya serta isinya, makhluk hayati mupun non hayati, hal ini menunjukan bahwa manusia sebagai makhluk penting di dunia. Kehidupan manusia mempunyai daya pemicu yang  berupa gerak (al-harakah) yang berfungsi mengambil  yang bermanfa'at dan menolak yang merusak, al-harakah dalam diri manusia untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat (مصالح العباد في الد نيا والأخره).[3]
Manusia dalam perjalanan hidupnya diwarnai dengan pengetahuan dan keyakinan, manusia baru akan mencapai suatu pengetahuan apabila memulainya dari pintu keyakinan termasuk keyakinan dalam beragama seorang yang mempelajari ilmu agamanya tidak akan sampai kepada pengetahuan  dalam ilmu agama jika ia tidak terlebih dahulu meyakini kebenaran ajaran agamanya.[4]  Pelaksanaan hukum dalam masyarakat  baru dapat  dilaksanakan kalau masyarakat sudah memiliki keimanan yang kuat, memiliki rasa keadilan yang tinggi bertaqwa kepada Allah Swt, dan menjunjung tinggi nilai kebenara.[5] Manusia memiliki Sifat bawaan, (fitrah),
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar, kecuuali kalau sudah terpengaruh oleh lingkungan,  hadits Nabi berbunyi "Setiap orang yang dilahirkan ada dalam keadaan fitrah kedua orang tuanyalah yang menjadikanya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi".[6]  Fitrah merupakan bawaan manusi sejak lahir  meliputi tiga potensi, pertama Quwwat al-'Aql yaitu potensi intelektual kedua Quwwat al-Ghadab Potensi defensive ketiga Quwat Syahwat  potensi opensif, akal adalah potensi tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui Allah (marifat) serta mengimaninya gadhab berfungsi defensive untuk menghindarkan diri secara naluriah dari segala yang membahayakan oleh karena itu daya ini seringkali disebut al-Quwat al-Dâfiiyah secara harfiah berarti daya defensive, syahwat berfungsi sebagai daya opensif yang berfungsi mengintrodusir objek-objek yang menyenangkan[7]
Pada pertengahan abad ke 19 di Itali munculah teori "Atavisme" dan tipe penjahat. Tokohnya C. Lambroso menyatakan “Manusia yang pertama adalah penjahat dari semenjak lahirnya (beden wilden)” Lambroso merumuskan bahwa orang laki-laki adalah "penjahat" dari sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa, pembunuh) dan perempuan adalah pelacur.[8] Pada Pertengahan Abad ke XX lahirlah aliran kriminologi kritis dipelopori oleh Toyar dan Jue Young berkembang di Inggris & Amerika Serikat menyatakan kekuasan adalah penyebab dari kejahatan maka Negara harus bertanggung jawab atas merebaknya kejahatan. [9]
Hukum Islam adalah mengandung kemaslahatan[10] sehingga senantiasa relefan dengan situasi dan kondisi  masyarakat itu berada, hukum Islam mempunyai tujuan penciptaan hukum yang pada hakikatnya  sebagai  tolak ukur bagi manusia dalam rangka mencapai kebahagiyaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan hukum Islam dari segi fitrah dan potensi manusia itu  sebagai berikut:

Kamis, 05 April 2012

Biodata Dr.Syahrul Anwar,M.AG

Dr. Syahrul Anwar, M.Ag lahir di Blok Saptu, Desa Burujul Wetan Kec. Jatiwngi, Kab. Majalengka pada hari Selasa 02 Mei 1972 M /18 Rabiul Awal 1392 H, adalah anak bungsu dari pasangan Sarma Nasmawi Hadi (Alm) dan Siti Junar Muhammad. Sejak 07 Juni 1998 M/ 12 Safar 1419 H, menikah dengan Eneng Zakiyah S.Ag putri dari pasangan E.Kosasih (alm) dan Hj.Siti Hafsah. dikaruniai tiga orang buah hati: 1)Daud Hamdan Gulamun Halim Syah, 2)Halwa Fudhilaallah Mahmudah Syah. 3)Sayid Mahmud Ibadirahman Syah.

 Pendidikan Penulis adalah: SDN I Burujul Wetan dan Madrasah Diniyah PUI tahun 1986,  MTs Al-Hidayah Jatiwangi tahun 1989, Madrasah Aliyah Daarul Uluum (PUI) Majalengka 1992, Pesantren Shabaraul Yaqien Majalengka tahun 1989-1992, S-1. Perbandingan Madzhab Fakultas Syari’ah IAIN SGD Bandung, tahun 1996, S-2  Hukum Islam dan Pranatan Sosial IAIN SGD Bandung tahun 2001.  Program (S-3)Doktor UIN SGD  Bandung 2009.
Aktivitas penulis sejak 1997 mengabdi sebagai Dosen Luar Biasa (LB) di Fakultas Syariah IAIN Bandung sampai 2000, tahun 2001 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di IAIN “SGD” sebagai Tenaga administrasi di UPT Perpustakaan, tahun 2003 diangkat menjadi Dosen Tetap di Fakultas Syari’ah dan Hukum samapai sekarang.  Penulis aktif dalam Pengabdian Masyarakat, antara lain sebagai Ketua DKM Al-Hikmah Permata Biru Blok F (2004-sekarang), Sebagai pengurus MUI Desa Cinunuk (2005-Sekarang), -PUI PW Jabar Sebagai anggota Bidang Dakwah dan Tarbiyah
Karya ilmiyah yang telah di tulis yaitu: a)Jurnal Teori Maqashid Jurnal Adliah 2007, Taqnin Sebagai Estafeta Hukum Islam Jurnal Adliyah 2008, Hakikat Ontologi Hukum Pidana Islam Mimbar Studi 2008, Hukum  Pidana Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Mimbar Studi 2009, Pidana Islam sebagai Sistem Hukum, Intisabi 2009, Hakikat Manusia dan Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Pidana Nasional As-Syari’ah 2009 b) Penelitian, Kehujahan Mafhum Mukhalafah bi as-shifafah menurut Abu Hanifah dan Imam Malik (Skripsi, 27 Agustus 1996), Aplikasi Konsep al-Maslahah al-Mursalah dalam Hukuman Penjara di Lembaga Pemasyrakatan dalam hukum Pidana Islam (studi Analisis terhadap Pemikiran Imam Malik) (Tesis, 20 Agustus 2001), Peran FOSIRU dalam Masyarakat Ciseeng Bogor BALITBANG DEPAG Jakarta 2004, Tranformasi Hukum Pidana Islam Kedalam Hukum Pidana Nasional DIPA 2007, c)Buku-buku, Sejarah Perjuangan Umat Islam Fak. Syari’ah, 2006, Sejarah Peradaban Islam Fak.Syari’ah 2008, Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih Untuk Jurusan Administrasi Negara Jur AN 2009. Editor dengan Badri Khairuman  Teori-Teori Hukum Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat  UIN Bandung 2009.Ilmu Fiqih dan Ilmu Ushul Fiqih Galia Indonesia, 2010, Hukum Pidana Islam Tinta Biru 2012
Permata Biru Blok F 115
Rt06/19 Desa Cinunuk Cileunyi Bandung
081321433472
Email:syahrulanwar72@yahoo.co.id

Dr.Syahrul Anwar, M.Ag

Sabtu, 18 Februari 2012

Dr. Syahrul Anwar: Hukum Islam Lebih Manusiawi

BANDUNG, (PRLM).- Hukuman mati bagi koruptor harus menjadi hukuman tertinggi dalam penegakan hukum di Tanah Air. Hal tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk memberika efek jera bagi pelaku, melainkan upaya pencegahan bagi pihak-pihak yang akan melakukan tindakan serupa.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Dr. Syahrul Anwar, M.Ag, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saat ditemui di ruang kerjannya, Kamis, (9/2). Syahrul menilai hukum Islam merupakan produk hukum yang paling manusiawi.
Menurut Syahrul yang juga Ketua Jurusan Hukum Pidana Islam (HPI), bentuk hukuman mati bukan harga mati. “Sangsi hukuman tersebut bisa diberikan tergantung dari seberapa besar dampaknya di masyarakat. Bila dampaknya kecil, pelaku korupsi dalam hukum pidana Islam bisa diampuni, dengan catatan yang bersangkutan harus bertaubat,” ujar Syahrul.
Adanya batasan seperti had ‘ala (batas tertinggi) dan had ‘Adna (batas terendah) dalam pemberian sangsi hukuman. Menunjukan bahwa hukum Islam bersifat proporsional. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati ini beralasan pemberian hukuman apapun terhadap pelaku, harus setimpal dengan perbuatan pelaku.
Meski dalam kajian hukum Islam, pelaku korupsi bisa diampuni. Namun menurut dia pemahaman ajaran Islam tentang korupsi begitu tegas. Syahrul mencontohkan pada masa kepemimpinan Khalifah Abu bakar Assidiq, masyarakat yang mampu membayar pajak, namun mereka tidak menunaikan kewajibannya, bisa dinyatakan sebagai tindakan korupsi. “Apalagi mereka yang menyalahgunakan dana pajak untuk kepentingan pribadi atau kelompoknnya, jelas sanksinya harus tegas,” paparnya.
Ia juga mengatakan saat ini telah banyak hukum Islam yang telah diadopsi dalam hukum nasional. “Kalau sudah masuk dalamnya, maka hukum Islam tersebut dikatakan sebagai hukum nasional, “ jelas Syarul. (CA-10/A-108)***

Senin, 18 Oktober 2010

Teori Pema'afan dalam Pidana Islam

TEORI PEMAAFAN DALAM PIDANA ISLAM
(ANTI SADISME PIDANA ISLAM)


Makalah
Disampikan dalam diskusi Dosen
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Bulan Juni 2010







Oleh
Syahrul Anwar










FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SGD BANDUNG
2010 M / 1431 H

TEORI PEMAAFAN DALAM PIDANA ISLAM
(ANTI SADISME PIDANA ISLAM)
0leh
Syahrul Anwar

A.  Pengertian Teori
Secara umum ada tiga tipe teori[1] yaitu teori formal, teori substantive dan teori positif. Teori formal menghasilkan suatu skema konsep dan pernyataan  dalam masyarakat  atau interaksi  keseluruhan manusia yang dapat dijelaskan. teori tertentu mempunyai karakter yang paradigmatic yaitu untuk menciptakan agenda keseluruhan  untuk praktek teoretis masa depan terhadap klaim paradigma yang berlawanan. Teori tertentu juga sering kali mempunyai karakter yang fondasional yaitu mencoba untuk  mengidentifikasikan  seperangkat perinsif tunggal yang merupakan landasan puncak untuk kehidupan. yang kemudian disebut grand teori.
            Teori Substantive adalah teori yang kurang inklusif teori ini menjelaskan secara keseluruhan dalam bidang yang khusus misalnya  tentang hak pekerjaan, dominasi politik tentang kelas komitmen agama atau prilaku yang menyimpang. Knstruk teori ini disebut MiddleTeori.
            Teori positivistik, teori ini menjelaskan hubungan empiris antara variable dengan menunjukan variable-variable itu dapat disimpulkan  dari pernyataan teoritis yang lebih abstrak. teori ini menjelaskan  tentang pernyatan-pernyataan  yang spesipik, karena  teori ini sangat memfokuskan  pada hubungan-hubungan empiris tertentu, temuam-temuan  yang belum terbukti mempunyai pengaruh, teori ini disebut dengan Oprasional Teori.
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan fitrah yang mengandung potensi untuk menciptakan kedamaian sesama makhluk lainnya dan kemungkinan pula terjadi kejahatan. Demi keharmonisan dan keadilan yang beradab, maka hukum Pidana Islam mengenal hukuman qisash dan hudud. Akan tetapi, sebagaian orang menganggapnya sebagai hukuman yang sadis dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal semua umat Islam meyakini  bahwa hukum Islam  adalah hukum yang universal (rahmatan lil alamin).

B. Teori Pema’afan
Meminta maaf adalah satu hal positif yang semestinya dilakukan seseorang yang melakukan kesalahan, hal ini bertujuan untuk menghapus perbuatan salah atau memalukan, kalau perbuatan salah itu terarah kepada seseorang atau keluarga yang menjadi korban, bila kesalahan itu tertuju kepada banyak orang, maka permintaan maaf semestinya dilakukan secara terbuka, budaya meminta maaf ini kurang berkembang di Indonesia, terutama permintaan maaf secara terbuka, adanya hari raya idul fitri untuk meminta maaf adalah sika  positif, semestinya berkembang diluar hari raya, dan dilakukan secara terbuka.
Kebiasaan orang Jepang  ketika seseorang telahan melakukan kesalahan atau dosa maka ia melakukan perbuatan harakiri[2] dalam hukum islam tidak mengeal adanya konsep itu, tetapi dilakukan pemaafan, karena pemaafan itu merupakan perbuatan sunat sebagai mana firman allah dalam surat al-maidah ayat 45,[3]  pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti  menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati, Allah Swt, memerintahkan manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain, memaafkan dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang [4]
Nabi Muhammad Saw adalah pribadi yang mudah memberi maaf dalam sejarah kemanusiaan. Nabi Muhammad Saw dikenal mudah memaafkan seseorang yang menyakitinya, ketika beliau menyampaikan dakwah kepada orang-orang daerah Thaifz, ternyata mereka bereaksi negatif yaitu menolak bahkan menyakiti fisik Rasulullah Saw, atas sikap kasar ini, Nabi Muhammad menunjukkan pemberian maafnya, bahkan Nabi optimis bahwa anak cucu orang-orang Thaif kelak akan menjadi orang-orang yang beriman,[5] Memaafkan pelaku tindak pidan adalah  sunat karena  berdasarkan firman Allah yang menyatakan bahwa setiap luka harus dilakukan qishash dan barang siapa bershadaqah (memaafkan) maka harus diganti dengan kifarat.[6]  Barag siapa yang mewajibkan  qishash maka harus memaafkan  mutlaq dengan tanpa pengganti dan diharuskan  membalas sikap pemaafan itu  dengan kifarat.
            Sikap keluarga terbunuh berada dalam dua posisi kebaikan, yaitu seandainya ingin membunuhnya (qishash) dan seandainya ingin mengambil diyat dari pihak pembunuh, maka dua sikap ini merupakan sikap yang baik, dan seandainya keluarganya besar hati memaafkanya, maka gugurlah segala hak yang bekaitan dengannya, akan tetapi karena pembunuhan itu sebaginnya merupakan hak Allah, maka diyat harus dilaksanakan sebagai penghapusan atas hak Allah.[7] maka seandainya  kita melakukan pemaafatn terhadap qishash, maka  keluarga pelaku kejahatan harus membayar diyat setelah ditentukan diyat maka gugurlah qishash baginya.  
Lafadz yang digunakan dalam pemaafan adalah: 1).”Lafadz  al-afwa” berdasarkan surat al- baqarah ayat 178, 2) “Lafadz Shadaq”  Surat al-maidah ayat  45, 3).  Lafadz  al-asqât”   ketiga lafadz tersebut  menunjukan makna yang sama  seperti lafdz  yang dipergunakan dalam  jal beli dan akhirnya penggunan lafadz tersebut  lebih mengarah kepada maksud dari lafadz yang diucapkan untuk memaafkan.[8] Pemaafan menurut Imam al-Syfi’i dan Imam Ahmad adalah memaafkan qishash  dan diyat tanpa imbalan apa-apa, sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pemaafan terhadap diyat bisa dilaksanakan bila ada  kerelaan pelaku terhukum, memaafkan diyat bukan pemaafan tetapi perdamaian yang berhaq memaafkan qishash adalah yang berhak menuntutnya.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kebolehan perdamaian dan hapusnya hukuman qishash, melalui perdamaian pihak pembunuh bisa membayar tanggungan yang lebih kecil sama atau lebih besar dari pada diyat. Nabi bersabda “barang siapa membunuh dengan sengaja maka ia diserahkan kepada keluarga terbunuh, bila mereka menghendaki maka boleh membunuhnya dan bila mereka menghendaki mereka boleh mengambil diyat 30 ekor  hiqah, 30  jadzah dan 40 ekor unta hilfah dan diyat ditentukan berdasarkan perdamaian itulah hak mereka”[9]
Orang yang berhak mengadakan  perdamian adalah orang yang berhaq atas qishash dan pemaafan, qishash dapat hapus  karena diwaritskan kepada keluarga korban, bila ahli waritsnya anak pembunuh yakni penuntut dan penanggung jawab qishash itu orangnya, misal A membunuh saudara sendiri yang tidak mumpunyai ahli warits kecuali dirinya sendiri. Memaafkan orang yang melakukan pembunuhan atau pelukaan dari korban (keluarga) sangat didorong dan terpuji, tetapi  tidak berarti pembunuh tidak kena hukuman, sanksinya diserahkan kepada ulil amri, karena pembunuh telah melanggar hak adami dan haq Allah.[10] 


C. Hikmah  Pidana Islam
Syari’at Islam diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan hidup manusia baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, nyawa seseorang adalah mahal karena itu harus dijaga dan dilindungi ketentuan hukum qishash memiliki relepansi kuat untuk melindungi manusia sehingga para pelaku Kriminal timbul kejeraan lantaran harus menanggung beban yang bakal menimpa dirinya jika ia melakukan perbuatan tersebut.[11]
Secara teoritis terdapat 5 (lima) keunggulan sistem hukum pidana Islam. Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana lain yang dibuat oleh manusia yang bersifat lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.[12] tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum Allah. hukum pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah, melahirkan implikasi pada penerapan sistem pidana Islam sebagai wujud ketaqwaan individu kepada Allah. sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah), sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah Swt yang merupakan ketakwaan.[13]
Kedua, sistem pidana Islam bersifat tegas dan konsisten,[14] pada sistem pidana hukum Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun [15] Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin, dalam sistem pidana Islam ada hukuman ta’zir yang memungkinkan adanya perbedaan sanksi hukuman yang, diserahkan kepada qadhi (hakim) ini merupakan celah dalam mengatasi permasalahan hukum yang baru supaya dapat ditolelir oleh hukum pidana Islam.
Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). sistem pidana Islam  berdimensi dunia dan akhirat, sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia ditengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 179: “dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,” Sedangkan sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang diakhirat nanti, dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah Saw menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya[16]
Keempat, Sistem Hukum Pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil.  terutama karena, sistem pidana Islam  bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah., hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad). Rasulullah Saw bersabda: “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur)[17]
Kelima, Sistem Hukum Pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syari’at. Kaidah fiqih menyebutkan,”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya.[18] artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.
Sanksi pembunuhan  yang dikenakan kepada terpidana, memiliki hak otonom bagi keluarga korban  untuk memilih hukuman yang bakal dikenakan  terhadap pelakunya, hal ini memiliki relevansi  kuat dengan  pertimbangan psikologi keluarga,  betapa penderitaan pihak keluarga  lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih karena dibunuh oleh seseorang, pihak keluarga korban  sedikit banyak mengetahui kepribadian anggota keluarganya, apabila mereka mengetahui bahwa yang terbunuh adalah salah seorang anggota keluarga yang akhlaknya kurang baik dan tidak terpuji, maka mereka dapat memakluminya jika ia dibunuh oleh seseorang, oleh karena itu ia tidak akan dendam kepada pembunuhnya bahkan kemungkinan besar akan memaafkan pelaku dari pembunuhan tersebut.



Daftar Pustaka
A.Djazuli, ”Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam” Raja Grafindo Persada Jakarta 1997
Abd Qadir Audah "Tasyri al-Jina'I al-Islami" Bairut Muasyayah Ar-risalah 1992 h 609
Abdur Rahman Idoi, “Tindak Pidana dalam Syari’at Islam” Rineka Cipta 1992
Abu Zahrah “Al-syakhsiyah Dar fiqr Arabi Mesir 1957
Ahmad Ali, “Reformasi Komitmen dan Akal Sehat dalam
Ahmad Fathi Bahansi "Al-Uqûbat fi al-fiqhi Islami"  maktabah daar al-urubah  Kairo 1961
Ahmad Hanafi“Asas-Asas Hukum Pidana Islam “ Bulan Bintang 
Ahmad Warso Munawir "Al-Munawir Kamus Arab  Indonesia"  Ponpes al-Munawir Krafyak Yogyakarta  1984 
Al-Mawardi Al-Ahkam al-Sultaniat” Dar Babul Halabi 1973 
Al-Munawir "Kamus Arab Indonesia" Pst al-Munawir Yogyakarta
As-Suyuthi, “Tafsir Al-Jalalain”,
Bemmlen, Van Mr Jm “Hukum Pidana I” Bandung Bina Cipta 1987
Budiono Kusumohamidjojo "Filsafat Hukum Problematika yang Adil"  Pt Grasindo 2004
Dede Rosyada “Hukum Islam dan Pranata Sosial”  Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan Jakarta 1992
Dwija Priatno, “Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia”  Refika Aditama Bandung  2006 h. 5
Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/ h. 139
Haliman “Hukum Pidana Syari’at  Islam menurut Ajaran  Ahli Sunah” Bulan Bintang Jakarta  1971 h. 64
http:// ugm.ac.id/ seminar/reformasi/i-ahmad-ali.php),
Ibnu Abidin"Hasiyah Radd al-Muktar' maktabat al Imam tt juz XVIII
Ibnu Humam “Syarah Fathul Qadir
Ibnu Qudamah “Al-Kaafie fi fiqh Imam Ahmad Ibnu Hanbal” (tahqiq Jauhar Syawisy) Juz 4 Maktabah Islami h.50.
Ibnu Rusyd “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” Daaral-Fiqr Bairut tt juz II h.405.
Ibnu Rusyd “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” juz  II maktabah urwah Semarang  tt.
Ibrahim Hoesen  “Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Pidana Islam Reinterpretasi terhadap  Pelaksanaan Aturan” Dikutif dari "Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun KH Ali Yafie Editor  Jamal D. Rahmat et al diterbitkan oleh Mizan dan Bank Mu'amalah Indonesia)
Juhaya S. Praja "Aliran-aliran Filsafat dan etika"  Yayasan Piara Bandung  1997
Juhaya S. Praja "Filsafat Hukum Islam" LPPM UNISBA Bandung 1995
Lawrence M. Friedman, “The Legal System: A Social Science Perspective”, New York: Russell Sage Foundation, 1975
Leden Marpaung “Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana”  Sinar Grafika  2006
Lili  Rasjidi  dan Wiyasa Putra “Hukum Sebagai  Suatu Sistem”  Rosdakarya Bandung  1993
Mahsun Fuad "Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris" LKIS Yogyakarta 2005
Makrus Munajat “Dekonstruksi Hukum Pidana Islam” Logung Pustaka  Yogyakarta 2004 h.1
Moeljatno“Asas-Asas Hukum Pidana”Rineka Cipta Jakarta  1993
Mohammad Taufiq. "Qur'an in Word Ver 1.2.0 Created  By moh.taufiq@qmail.com taupQProduct ym id: mtaufiq.rm
Muhamad Husain al-Aqabi "Al-Majmu fi syarh al-Muhadzab" Maktabah al-imam juz XVIII
Muladi dan Barda Nawawi Arif  Teori-Teori Kebijakan Pidana” Bandung Alumni 1984
Nihayah Muhtaj  juz VIII h
Oemar Senoadji "Peradilan Bebas Negara Hukum
Padmo Wahyono "Konsep Yuridis Negara hukum Indonesia"
R Supomo  "Sistem Hukum di Indonesia Sebeum Perang Dunia II" Jakarta Pradnya Paramita 1982)
Soeroso, "Pengantar Ilmu Hukum" Sinar Grafika Jakarta 2004
Teguh Prasetyo dan Abdul  Halim  Barakatullah "Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum" Pustaka Pelajar Yogyakarta 2007
Utrecht, E “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”,
Wasis SP "Pengantar Ilmu Hukum" (Malang:UMM Pres, 2002)
Wirjono Projodikoro, “Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia”  PT Eresko Bandung 1989
Zaenuddin Ali “Hukum Pidana Islam” Sinar Grafika Jakarta 2007


[1] Otje Salman Teori Hukum  h. 23-24
[2]  Harakiri, itulah yang dilakukan orang  Jepang. Para kaum Samurai, orang-orang yang kastanya paling tinggi di Jepang, menyebutnya aktivitas ini dengan istilah seppuku. Harakiri atau seppuku adalah ritual melakukan bunuh diri akibat melakukan perbuatan rasa malunya tak dapat ditanggung. Ibaratnya, seseorang sudah tidak punya muka lagi. Harakiri dilakukan dengan membelah perut. Hal ini sesuai dengan istilah hara o kiri yang berarti membelah perut sendiri dengan pedang.
[3]  Surat al-Ma’idah  ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$#  
        “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
[4]  Surat At-Taghabun ayat 14
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur
       “Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu (kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
[5] Kisah yang lain ada seseorang yang setiap Nabi lewat selalu meludahinya. beliau bereaksi tenang dan tidak membalasnya.  Nabi terheran-heran manakala lewat jalan tersebut si peludah tidak ada. Saat tahu bahwa si peludah sakit, Nabi bersilaturrahmi pada orang tersebut, sesuatu yang sangat menggetarkan hati si peludah dan akhirnya orang tersebut masuk agama Islam.
[6]  Surat al Maidah  ayat 45 lihat footnot  No. 183
[7]    Ibnu Qudamah “Al-Kaafie fi fiqh Imam Ahmad Ibnu Hanbal” (tahqiq Jauhar Syawisy) Juz 4 Maktabah Islami h.50.
[8]  Ibid
[9]  HR. Abu Daud dan Turmudzi dari Amr bin Syu’aib
[10]  A.Djazuli of cit h. 152-153
[11] Ibid  h. 35
[12] Surat al- Maidah ayat 50
zNõ3ßssùr& Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# tbqäóö7tƒ 4 ô`tBur ß`|¡ômr& z`ÏB «!$# $VJõ3ãm 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏ%qムÇÎÉÈ  
       “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?
[13]  As-Suyuthi, “Tafsir Al-Jalalain”, hal. 91. meski redaksinya berupa pertanyaan (“siapakah”), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/ h. 139
[14]  Abdul Qadir Audah, of.cit  I h. 24-25. lihat al-Qur’an  surat al- an’am ayat 115
ôM£Js?ur àMyJÎ=x. y7În/u $]%ôϹ Zwôtãur 4 žw tAÏdt6ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9 4 uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÊÊÎÈ     
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui."
[15]   Maliki, Nizham al-Uqubat, h. 49
[16]  HR. Bukhari, dari Ubadah   lihat M. Husain Abdullah “Dirasat fi al-Fikr al-Islami, h. 64.
[17] HR. Ahmad Berdasar hadits, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah berkata,” Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika menerima suap ia telah sampai pada kekufuran.” (Al-Baghdadi,  Hukum Islam, h.62)
[18]  Zallum,  Nizham al-Hukm fi al-Islam, h. 193