HAKIKAT MANUSIA DAN EKSISTENSI
HUKUM PIDANA ISLAM
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Oleh:Syahrul Anwar
Abstraksi
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban
manusia guna menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum
Pidana Islam adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana
Islam dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karena
menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis
dan tidak manusiawi. Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal,
rahmatan lil alamin.
Umat Islam terikat untuk patuh dan
tunduk pada hukum agama,
termasuk hukum pidana Islam. tetapi, kenyataanya hukum pidana nasional masih
bernuansa hukum Kolonial, sehingga timbul pertanyaan Bagaimana hakikat manusia dalam hukum pidana dan hakikat hukum pidana Islam dalam filsafat hukum Pancasila?, epistemologi hukum
pidana Islam?, prinsip hukum pidana Islam dan Pancasila?tranformasi materi hukum pidana Islam Kedalam KUHP nasional? Dan Reaktualisasi hukum pidana Islam dalam sistem huum pidana
nasional.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam
penulisan ini adalah metode kualitatif
menghasilkan data deskriftif jenis analisis dokumen, dengan pendekatan
multidisipliner pada bidang Filosofis, Maqashid, dengan menggunakan teori
hakikat kemudian menggunakan midel teori ijtihad, teori cybernetics, teori negara hukum dan Teori
Tujuan oprasional teori kriminologi,
teori hukum pidana, teori penerapan hukum Islam Indonesia.
Hakikat manusia adalah manusia adalah kehendak Tuhan,
manusia bertugas sebagai khalifah dan beribadah maka hakikat
manusia adalah benda fisikal yang mengalami perubahan, manusia berinteraksi
secara antropologis dan sosiologis sehingga menimbulkan hak dan kewajiban, Sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan
cita-cita bangsa, tujuan negara, yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 Hukum Nasional terdiri dari sistim hukum, Kolonial, Adat
dan Hukum Agama (Islam). meliputi Struktur, Substansi, dan Kultur, hukum
harus berdasarkan pancasila dan ketuhanan, (tauhidullah) Ilmu Hukum Pidana Islam bersumber dari
wahyu yang mathlu (al-Qur’an) dan wahyu yang ghaer mathlu
(al-Hadits), termasuk katagori ilmu Fiqih Mu’amalah, hukum Pidana Islam tidak
akan tegak kecuali dengan terbentuknya “Negara” ilmu hukum pidana Islam erat
kaitannya dengan ilmu politik dan Tata Negara sebagai ilmu penyelenggara
institusi Negara. Ilmu Hukum Pidana Islam t bagian hukum Publik yang penegakannya membutuhkan penguasa (ulil
amri), Sejak
1977 telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun konsep (RUU KUHP)
Nasional, pengembangan hukum
menggunakan: 1.Pemahaman baru Kitabullah, 2.Pemahaman baru Sunah” 3)Pendekatan ta’aqquli
(rasional) 5.Penekanan zawajir, 5. Ijmak 6.Masalik al-‘illat 7.Masalih mursalah 8.Sadd az-zari’ah 9.Irtijab akhalf ad-dararain 10.Keputusan waliyy al-amr” Qishash
adalah al-musyawah wa ta’adul,
A.Pendahuluan
Manusia
adalah bagian dari kesatuan totalitas alam yang sinergis dengan proses
peradaban, manusia mempunyai kedudukan yang unik karena mempunyai akal yang
berfungsi melakukan interpretasi proses kehidupan, akal menjadikan manusia
ekslusif dari makhluk lainnya, akal itu merdeka dan abadi dalam wataknya yang
esensial, akal adalah kekuatan tertinggi dari jiwa insaniyah.[1] Manusia mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan benda-benda alam lainnya seperti gunung dan
lautan dengan diberikan amanat untuk mengurus muka bumi (menjadi khalifah),[2] Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di muka bumi,
kepemimpinan manusia meliputi jagat raya serta isinya, makhluk hayati mupun non
hayati, hal ini menunjukan bahwa manusia sebagai makhluk penting di dunia. Kehidupan
manusia mempunyai daya pemicu yang
berupa gerak (al-harakah) yang berfungsi mengambil yang bermanfa'at dan menolak yang merusak, al-harakah
dalam diri manusia untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat (مصالح
العباد في الد نيا والأخره).[3]
Manusia dalam perjalanan hidupnya diwarnai dengan
pengetahuan dan keyakinan, manusia baru akan mencapai suatu pengetahuan apabila
memulainya dari pintu keyakinan termasuk keyakinan dalam beragama seorang yang
mempelajari ilmu agamanya tidak akan sampai kepada pengetahuan dalam ilmu agama jika ia tidak terlebih
dahulu meyakini kebenaran ajaran agamanya.[4] Pelaksanaan hukum
dalam masyarakat baru dapat dilaksanakan kalau masyarakat sudah memiliki
keimanan yang kuat, memiliki rasa keadilan yang tinggi bertaqwa kepada Allah
Swt, dan menjunjung tinggi nilai kebenara.[5] Manusia memiliki Sifat bawaan, (fitrah),
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidak wajar, kecuuali kalau sudah terpengaruh oleh
lingkungan, hadits Nabi berbunyi
"Setiap orang yang dilahirkan ada dalam keadaan fitrah kedua orang
tuanyalah yang menjadikanya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi".[6] Fitrah merupakan
bawaan manusi sejak lahir meliputi tiga
potensi, pertama Quwwat al-'Aql yaitu potensi intelektual kedua
Quwwat al-Ghadab Potensi defensive ketiga Quwat Syahwat potensi opensif, akal adalah potensi
tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui Allah (marifat) serta
mengimaninya gadhab berfungsi defensive untuk menghindarkan diri secara
naluriah dari segala yang membahayakan oleh karena itu daya ini seringkali
disebut al-Quwat al-Dâfiiyah secara harfiah berarti daya defensive,
syahwat berfungsi sebagai daya opensif yang berfungsi mengintrodusir objek-objek
yang menyenangkan[7]
Pada pertengahan abad ke 19 di Itali munculah teori "Atavisme"
dan tipe penjahat. Tokohnya C. Lambroso menyatakan “Manusia yang
pertama adalah penjahat dari semenjak lahirnya (beden wilden)” Lambroso
merumuskan bahwa orang laki-laki adalah "penjahat" dari sejak
lahirnya (pencuri, suka memperkosa, pembunuh) dan perempuan adalah pelacur.[8] Pada Pertengahan Abad ke XX lahirlah aliran kriminologi
kritis dipelopori oleh Toyar dan Jue Young berkembang di Inggris & Amerika
Serikat menyatakan kekuasan adalah penyebab dari kejahatan maka Negara harus
bertanggung jawab atas merebaknya kejahatan. [9]
Hukum Islam adalah mengandung kemaslahatan[10] sehingga senantiasa relefan dengan situasi dan kondisi masyarakat itu berada, hukum Islam mempunyai
tujuan penciptaan hukum yang pada hakikatnya
sebagai tolak ukur bagi manusia dalam
rangka mencapai kebahagiyaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan
hukum Islam dari segi fitrah dan potensi manusia
itu sebagai berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar