Rabu, 30 Mei 2012

HAKIKAT MANUSIA DAN EKSISTENSI HUKUM PIDANA ISLAM


HAKIKAT MANUSIA DAN EKSISTENSI  HUKUM PIDANA ISLAM
DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Oleh:Syahrul Anwar
Abstraksi
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia guna menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana Islam adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana Islam dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karena menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis dan tidak manusiawi. Padahal semua umat Islam meyakini  bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal, rahmatan lil alamin.
Umat Islam terikat untuk patuh dan tunduk pada hukum agama, termasuk hukum pidana Islam. tetapi, kenyataanya hukum pidana nasional masih bernuansa hukum Kolonial, sehingga timbul pertanyaan Bagaimana hakikat manusia dalam hukum pidana dan hakikat hukum pidana Islam dalam filsafat hukum Pancasila?, epistemologi hukum pidana Islam?, prinsip hukum pidana Islam dan Pancasila?tranformasi materi hukum pidana Islam Kedalam KUHP nasional? Dan Reaktualisasi hukum pidana Islam dalam sistem huum pidana nasional.  
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah  metode kualitatif menghasilkan data deskriftif jenis analisis dokumen, dengan pendekatan multidisipliner  pada bidang Filosofis, Maqashid, dengan menggunakan teori hakikat kemudian menggunakan midel teori ijtihad, teori cybernetics, teori negara hukum dan Teori Tujuan  oprasional teori kriminologi, teori hukum pidana, teori penerapan hukum Islam Indonesia.
Hakikat manusia adalah manusia adalah kehendak Tuhan, manusia bertugas sebagai khalifah dan beribadah maka hakikat manusia adalah benda fisikal yang mengalami perubahan, manusia berinteraksi secara antropologis dan sosiologis sehingga menimbulkan hak dan kewajiban, Sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, yang terkandung dalam Pembukaaan UUD 1945 Hukum Nasional terdiri dari sistim hukum, Kolonial, Adat dan Hukum Agama (Islam). meliputi Struktur, Substansi, dan Kultur, hukum harus berdasarkan pancasila dan ketuhanan, (tauhidullah)  Ilmu Hukum Pidana Islam bersumber dari wahyu yang mathlu (al-Qur’an) dan wahyu yang ghaer mathlu (al-Hadits), termasuk katagori ilmu Fiqih Mu’amalah, hukum Pidana Islam tidak akan tegak kecuali dengan terbentuknya “Negara” ilmu hukum pidana Islam erat kaitannya dengan ilmu politik dan Tata Negara sebagai ilmu penyelenggara institusi Negara. Ilmu Hukum Pidana Islam t bagian hukum Publik  yang penegakannya membutuhkan penguasa (ulil amri), Sejak 1977 telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun konsep (RUU KUHP) Nasional, pengembangan hukum menggunakan: 1.Pemahaman baru Kitabullah, 2.Pemahaman baru Sunah” 3)Pendekatan ta’aqquli (rasional) 5.Penekanan zawajir, 5. Ijmak 6.Masalik al-‘illat 7.Masalih mursalah 8.Sadd az-zari’ah 9.Irtijab akhalf ad-dararain 10.Keputusan waliyy al-amr” Qishash adalah al-musyawah wa ta’adul,

A.Pendahuluan
            Manusia adalah bagian dari kesatuan totalitas alam yang sinergis dengan proses peradaban, manusia mempunyai kedudukan yang unik karena mempunyai akal yang berfungsi melakukan interpretasi proses kehidupan, akal menjadikan manusia ekslusif dari makhluk lainnya, akal itu merdeka dan abadi dalam wataknya yang esensial, akal adalah kekuatan tertinggi dari jiwa insaniyah.[1]  Manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan benda-benda alam lainnya seperti gunung dan lautan dengan diberikan amanat untuk mengurus muka bumi (menjadi khalifah),[2] Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di muka bumi, kepemimpinan manusia meliputi jagat raya serta isinya, makhluk hayati mupun non hayati, hal ini menunjukan bahwa manusia sebagai makhluk penting di dunia. Kehidupan manusia mempunyai daya pemicu yang  berupa gerak (al-harakah) yang berfungsi mengambil  yang bermanfa'at dan menolak yang merusak, al-harakah dalam diri manusia untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat (مصالح العباد في الد نيا والأخره).[3]
Manusia dalam perjalanan hidupnya diwarnai dengan pengetahuan dan keyakinan, manusia baru akan mencapai suatu pengetahuan apabila memulainya dari pintu keyakinan termasuk keyakinan dalam beragama seorang yang mempelajari ilmu agamanya tidak akan sampai kepada pengetahuan  dalam ilmu agama jika ia tidak terlebih dahulu meyakini kebenaran ajaran agamanya.[4]  Pelaksanaan hukum dalam masyarakat  baru dapat  dilaksanakan kalau masyarakat sudah memiliki keimanan yang kuat, memiliki rasa keadilan yang tinggi bertaqwa kepada Allah Swt, dan menjunjung tinggi nilai kebenara.[5] Manusia memiliki Sifat bawaan, (fitrah),
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid, kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidak wajar, kecuuali kalau sudah terpengaruh oleh lingkungan,  hadits Nabi berbunyi "Setiap orang yang dilahirkan ada dalam keadaan fitrah kedua orang tuanyalah yang menjadikanya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi".[6]  Fitrah merupakan bawaan manusi sejak lahir  meliputi tiga potensi, pertama Quwwat al-'Aql yaitu potensi intelektual kedua Quwwat al-Ghadab Potensi defensive ketiga Quwat Syahwat  potensi opensif, akal adalah potensi tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui Allah (marifat) serta mengimaninya gadhab berfungsi defensive untuk menghindarkan diri secara naluriah dari segala yang membahayakan oleh karena itu daya ini seringkali disebut al-Quwat al-Dâfiiyah secara harfiah berarti daya defensive, syahwat berfungsi sebagai daya opensif yang berfungsi mengintrodusir objek-objek yang menyenangkan[7]
Pada pertengahan abad ke 19 di Itali munculah teori "Atavisme" dan tipe penjahat. Tokohnya C. Lambroso menyatakan “Manusia yang pertama adalah penjahat dari semenjak lahirnya (beden wilden)” Lambroso merumuskan bahwa orang laki-laki adalah "penjahat" dari sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa, pembunuh) dan perempuan adalah pelacur.[8] Pada Pertengahan Abad ke XX lahirlah aliran kriminologi kritis dipelopori oleh Toyar dan Jue Young berkembang di Inggris & Amerika Serikat menyatakan kekuasan adalah penyebab dari kejahatan maka Negara harus bertanggung jawab atas merebaknya kejahatan. [9]
Hukum Islam adalah mengandung kemaslahatan[10] sehingga senantiasa relefan dengan situasi dan kondisi  masyarakat itu berada, hukum Islam mempunyai tujuan penciptaan hukum yang pada hakikatnya  sebagai  tolak ukur bagi manusia dalam rangka mencapai kebahagiyaan hidup di dunia dan akhirat. Tujuan hukum Islam dari segi fitrah dan potensi manusia itu  sebagai berikut: